MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM - Perubahan dan inovasi merupakan kata kunci dan titik tolak dalam mengembangkan pendidikan. Begitu juga untuk membangun suatu model pendidikan Islam yang baru untuk dapat menjawab persoalan yang dihadapi umat. Hal ini didasarkan pada realitas pendidikan saat ini yang belum mampu menghasilkan manusia yang berakses pada upaya membangun peradaban. Maka perlu dicari sistem pendidikan alternatif sebagai “sintesa” dari berbagai system pendidikan yang pernah ada.

Melihat kalimat ‘Lembaga Pendidikan Islam’ tentunya dari katanya saja sudah mempunyai lekatan makna yang menjurus pada yayasan, pesantren, madrasah, STAI, UIN, PTIQ dan sebagainya. Dari tahun-ketahun, institusi ini terus mencetak alumni-alumninya yang mempunya keahlian diberbagai bidang yang tentunya bidang keagamaan. Namun seberapa besarkah alumninya tersebut mampu menguasai dunia global saat ini.

Terlepas dari kasusnya (terjaring kasus oleh KPK) cukup menarik
apa yang dikatakan oleh Menteri Agama pada masa Presiden SBY tersebut yaitu Surya Darma Ali. Beliau mengatakan:

“Indonesia memiliki 614 pendidikan tinggi Islam. Namun, pendidikan tinggi Islam ini masih memiliki beberapa kelemahan. Antara lain, belum terintegrasinya sistem pendidikan dari strata 1 hingga strata 3. Pendidikan tinggi Islam juga masih kurang memiliki manajemen pengelolaan yang maksimal. Juga masih memiliki sisi pembiayaan yang minimal. Secara teknis masalah yang selalu dirundung lembaga pendidikan Islam adalah soal isu relevansinya dengan sistem pendidikan sekolah, standar pendidikan yang belum sama, serta mutu tenaga pendidik yang masih kurang.”[1]

Kalimat yang penulis berikan tanda bold, mungkin menjadi tugas besar kaum intelektual saat ini khususnya yang bergerak di dunia pendidikan untuk mengetahui konsep-konsep dasar atau model-model pengembangan manajemen. Agar instiusi tidak hanya sekedar mengeluarkan ijazah tetapi yang lebih penting lagi mampu melakukan rekonstruksi pendidikan Islam ke arah yang lebih positif dan minimal dimulai dari manajemen yang efisien dan efektif.



Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk menyajikan uraian lembaran pembahasan yang berkenaan dengan Model Pengembangan Manajemen Pendidikan Islam.

Rumusan masalah
Bagaimanakah Model Pengembangan Manajemen Pendidikan Islam?

PEMBAHASAN
A. Pengertian Model Pengembangan Manajemen
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata model memiliki banyak arti diantaranya, pola (contoh, acuan, ragam, dan sebagainya) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan, atau orang yang dipakai sebagaicontoh untuk dilukis (difoto).[2]

Sedangkan kata manajemen, menurut Kamus Bahasa Indonesia berarti penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Sedangkan manajer ialah pimpinan yang bertanggung jawab atas jalannya perusahaan dan organisasi.[3]

Manajemen pendidikan adalah suatu usaha penerapan prinsip-prinsip dan teori manajemen dalam aktivitas pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.[4]

Sedangkan makna pendidikan Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.[5]

Manajemen pendidikan berasal dari aktivitas lembaga pendidikan yang mencakup pengelolaan aktivitas pengajaran, kepemimpinan dan berbagai aturan, perencanaan, prosedur pelaksanaan dan manajemen pengawasan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa manajemen pendidikan merupakan proses penerapan prinsip dan teori manajemen dalam pengelolaan kegiatan di lembaga pendidikan formal untuk mengefektifkan pencapaian tujuan pendidikan.[6]

Dengan demikian pembahasan ini berkenaan dengan sejauh mana pola manajemen yang ada pada lembaga-lembaga pendidikan Islam.

B. Inovasi Manajemen Pendidikan
Inti kegiatan manajemen pendidikan persekolahan adalah pembuatan keputusan untuk peningkatan mutu kinerja sekolah. Sejalan dengan pemikiran ini, inti manajemen partisipatif yang dituntut dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah pembuatan keputusan secara parsitipatif. Keputusan dalam bidang manajemen itu berasal dari manusia secara melembaga dan untuk kepentingan manusia yang melembaga pula atau yang mempunyai kepentingan dengan lembaga tersebut.[7]

Dilihat dari konsep inovasi, pembuatan keputusan sebagai inti manajemen pendidikan mengandung makna keputusan inovatif jika keputusan dibuat dan dianggap baru oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan keputusan itu. Mengikuti proses pengembangan inovasi (innovation-development process), inovasi dalam bidang manajemen pendidikan dapat dilakukan dengan menempuh proses sebagai berikut:[8]

1. Recognizing a problem or need
Inovasi manajemen pendidikan diawali dengan adanya masalah atau kebutuhan untuk meningkatkan mutu manajemen sekolah secara lebih baik.

2. Penelitian(Research)
Umumnya penelitian dilakukan melalui eksperimentasi terapan. Adakalanya juga dilakukan dalam bentuk penelitian kebijakan atau policy research.

3. Pengembangan
Penelitian dan pengembangan (research and development) mempunyai kaitan yang sangat erat. Kegiatan pengembangan harus didasari atas hasil penelitian.

4. Komersialisasi (commercialization)
Dalam bidang manajemen pendidikan tidak dipersepsi sebagai komersialisasi dalam bidang bisnis.

5. Deffusion and adoption (difusi dan adopsi)
Merupakan aspek yang sangat esensial dalam keseluruhan aktivitas pengembangan inovasi, yaitu keputusan untuk mulai mendifusikan inovasi kepada adaptor potensial sehingga terjadinya proses adopsi perlu dilakukan sesegera mungkin setelah produk inovasi itu dipaket.

6. Konsekuensi (concequences)
Dari proses pengembangan inovasi adalah konsekuensi dari inovasi. Di sini akan diketahui apakah masalah/kebutuhan yang muncul diawal akan benar-benar dapat dipecahkan melaui suatu inovasi. Inovasi diawali oleh masalah atau kebutuhan dan umumnya diakhiri dengan masalah atau kebutuhan baru. Oleh karena itu, inovasi membentuk suatu siklus.

C. Model Pengembangan Manajemen Pendidikan Islam
Berdasarkan lapak tilas sejarahnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah dan pesantren itu tumbuh dari bawah, dari gagasan tokoh-tokoh agama setempat.Diawali dari pengajian yang lantas mendirikan mushalla/masjid, madrasah diniyah, dan kemudian mendirikan pesantren atau madrasah. Sebagian besar tumbuh dan berkembang dari kecil dan kondisinya serba terbatas. 

Selanjutnya ada yang tubuh dan berkembang dengan pesat atau mengalami continuous quality improvement, ada juga yang stagnant (jalan di tempat) dan ada pula yang tidak bisa stagnant. Bagi yang terus berkembang hingga mampu mendirikan lembaga-lembaga pendidikan umum dan perguruan tinggi, didukung oleh usaha-usaha lain yang bersifat profit seperti pertanian, perdagangan, percetakan, industri jasa dan lain sebagainya.

Sejak dekade 90-an, kesadaran umat untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan Islam mulai bangkit dimana-mana dan beberapa di antaranya telah mampu menjadi sekolah unggul atau sekolah yang efektif (effective school). Yang menjadi persoalan adalah model manajemen yang bagaimana yang tepat bagi pendidikan Islam yang memiliki mutu tinggi dan berkarakter islami?

Adapun model-modelnya yaitu sebagai berikut:

1. Model Manajemen Bernuansa Entrepreneurship.
Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa sebagian besar pendidikan Islam tumbuh dan berkembang dari bawah dan dari kecil. Manajemen yang tepat adalah manajemen yang dapat memberikan nilai tambah. Manajemen yang dapat memberi nilai tambah adalah manajemen yang bernuansa entrepreneurship. 

Rhenald Kasali dalam “Paulus Winarto menegaskan bahwa seorang entrepreneur adalah seorang yang menyukai perubahan, melakukan berbagai temuan yang membedakan dirinya dengan orang lain”, menciptakan nilai tambah, memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain, karyanya dibangun berkelanjutan (bukan ledakan sesaat) dan dilembagakan agar kelak dapat bekerja dengan efektif di tangan orang lain. Seorang manajer yang sekaligus sebagai seorang entrepreneur memiliki karakter sebagai berikut: memiliki keberanian mengambil resiko, menyukai tantangan, punya daya tahan yang tinggi punya visi jauh ke depan dan selalu berusaha memberikan yang terbaik.

Menjadi seorang entrepreneur diperlukan integritas yang kokoh, memiliki etos kerja yang tinggi dan kesanggupan untuk menghadapi tantangan, hambatan dan bahkan ancaman. Seorang entrepreneur adalah orang yang berani mengambil keputusan “keluar dari zona nyaman dan masuk ke dalam zona ketidakpastian (penuh resiko)”. Manajer yang biasa (konvensional) sebenarnya adalah orang yang paling membutuhkan keamanan dan status quo, dan sebaliknya takut pada perubahan. Hal ini wajar karena ia sedang berada di puncak piramida dalam struktur organisasi dengan segala fasilitas, kedudukan dan kehormatan yang melekat padanya.[9]

Seorang entrepreneur pada dasarnya adalah seorang pembaharu (innovator) karena melakukan sesuatu yang baru, dianggap baru atau berbeda dari kondisi sebelumnya. Apa yang dilakukan itu membawa perubahan ke arah yang lebih baik dan memberi nilai tambah bagi diri maupun orang lain. Dalam upaya untuk menciptakan nilai tambah seorang entrepreneur sangat mengutamakan kekuatan brand, yaitu citra atau merek yang kuat atas apa yang dilakukannya. 

Dengan brand yang baik jelas akan memberikan value yang tinggi. Brand image bagi sebuah lembaga pendidikan merupakan aset yang paling berharga yang mampu menciptakan value bagi stake holder dengan meningkatkan kepuasan dan menghargai kualitas dan akhirnya melahirkan kepercayaan. Seorang manajer yang sekaligus entrepreneur bukan sekedar bisa membangun brandbelaka, namun juga memanfaatkan kekuatan brand untuk melipatgandakan akselerasi sebuah perubahan.

Berikut kalimat singkat, menarik yang diucapkan oleh KH.Ahmad Dahlan,:”Hidup-hidupi Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.

Dapat ditafsirkan dalam konteks semangat entrepreneurship. Artinya setiap orang yang bekerja di lembaga amal usaha Muhammadiyah harus mampu memberikan nilai tambah bagi perkembangan lembaganya. Dengan cara inilah akan terjadi penumpukan capital (capital development) sehingga amal usaha Muhammadiyah dapat terus tumbuh dan berkembang.

Institusi yang memiliki nuansa entrepreneur, juga akan memikirkan bagaimana cara melakukan manajemen ketahanan pangan. Artinya keungan yang ada pada bendahara itu bisa terus berlangsung dan berkembang.

Manajemen ketahanan pangan, telah diberikan contohnya oleh Nabi Yusuf AS. yaitu sebagai berikut:

a. Mensyukuri dan mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya alam.
Penyelenggara institusi pendidikan Islam, hanya mempunyai dua pilihan dalam menjalani proses tersebut. Pilihan itu ialah syukur ataukah kufur. Syukur akan makmur, dan kufur akan kecebur (artinya berada pada posisi terendah dan hina). Juga mampu memanfaatkan sarana dan prasarana yang sudah disediakan oleh alam.

b. Etos bercocok tanam dan memproduksi pangan.
Poin ini meniscayakan adanya manajemen perencanaan pembenihan, pengolahan lahan, penanaman dan perawatan. Maksudnya lembaga pendidikan diharapkan bisa melaksanankan rekrutment dengan baik, proses pembelajaran yang pengajarnya tidak hanya cerdas, tetapi transformatif dan memberikan pelayanan (service) yang maksimal kepada warga dalam institusi tersebut.

c. Prinsip swasembada pangan dalam jangka panjang, minimal tujuh tahun.
Prisnsip swasembada ialah prinsip usaha mencukupi diri sendiri. Artinya institusi jangan hanya mengharapkan bantuan pemerintah. Tetapi ada usaha lain yang dilakukan dengan kerja keras. Sehingga apabila pemerintah mungkin menghentikan bantuannya, tidak ada kekhawatiran yang tinggi. Apabila mau mencontoh nabi Yusuf AS. tentunya hal itu dilakukan minimal selama tujuh tahun.

d. Berorientasi futuristik.
Yaitu etos menyimpan atau menabung dan mengelola stok pangan yang memadai untuk jangka panjang. Setelah berhasil melakukan ketiga proses diatas, apabila bendahara mempunyai budget yang cukup, tidak kemudian budget itu digunakan dengan seenaknya, tetapi diharapkan bisa diinvestasikan.[10]

2. Model Manajemen Berbasis Masyarakat (Management Based Society)
Yaitu manajemen yang dapat menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar. “Data EMIS Departemen Agama menunjukkan 90% madrasah berstatus swasta dan 100 % pesantren adalah swasta”. Ini berarti bahwa lembaga pendidikan Islam adalah lembaga milik masyarakat, atau bisa dikatakan “dari, oleh dan untuk masyarakat”. 

Manajemen pendidikan Islam yang tepat adalah manajemen yang dapat mendekatkan pendidikan Islam dengan masyarakat, diterima, dimiliki dan dibanggakan oleh masyarakat, dan dapat mendayagunakan potensi-potensi yang dimiliki masyarakatnya. Konsep Manajemen berbasis sekolah (Management Based School) dan pendidikan berbasis masyarakat (Society Based Education) dalam konteks otonomi daerah, lahir karena dilandasi oleh kesadaran bahwa masyarakat punya peran dan tanggung jawab terhadap lembaga pendidikan di daerahya disamping sekolah dan pemerintah.

Bagi lembaga pendidikan Islam yang memang “dari, oleh dan untuk masyarakat”, maka mengembalikan pendidikan Islam kepada masyarakat merupakan sebuah keniscayaan apabila pendidikan Islam ingin mengambil dan mendayagunakan kekuatannya. Dengan kata lain, masyarakat adalah kekuatan utama pendidikan Islam. Mencabut pendidikan Islam dari grass root nya (masyarakat) justru akan memperlemah pendidikan Islam itu sendiri. Pondok pesantren yang mampu menjaga hubungan baiknya dengan basis sosialnya terbukti dapat terus berkembang, dan sebaliknya akan mengalami surut ketika ditinggalkan oleh masyarakatnya.

Lembaga-lembaga pendidikan di negara-negara maju terutama yang berstatus privat pada umumnya terdapat lembaga semacam Dewan Sekolah, Majlis Madrasah, Dewan Penyantun, Majlis Wali Amanah dan lain sebagainya yang antara lain bertugas memperhatikan hubungan, kedekatan dan aspirasi masyarakat serta siap mendayagunakan potensi masyarakat dan memberikan layanan pengabdian (langsung maupun tidak langsung) kepada masyarakat. Di Stanford University misalnya ada The Board of Trustees yang berwenang mengelola dana hibah dan hadiah (grand), sumbangan (endowment) dan lain sebagainya yang dihimpun dari dana masyarakat untuk pengembangan Stanford University.[11]

Di beberapa universitas luar, seperti di University of London United Kingdom dan McGill University Canada misalnya terdapat lembaga yang namanya Board of Governor. Anggota lembaga ini sebagian besar dari luar universitas yang pada umumnya memiliki tugas dan peran sebagaimana The Board of Trustees pada Stanford University. McGill University misalnya, lembaga ini dapat berkembang karena semangat amal dari masyarakatnya. 

Diawali dari hibah James McGill yang menghibahkan sebagian kekayaannya berupa uang 10.000 pound sterling dan tanah 40 hektar beserta real estat yang ada di dalamnya, lembaga ini didirikan dan berkembang dengan terus menggali dana dari masyarakat sampai sekarang. Di McGill, semangat beramal itu tidak hanya dalam pengertian materi terutama dari para dermawan dan hartawan, tetapi juga perbuatan dengan kontribusi tenaga maupun pikiran. Dosen, karyawan dan pimpinan McGill rela bekerja keras karena dilandasi oleh semangat amal, semangat beribadah.

Semangat beramal untuk membangun lembaga pendidikan dalam tradisi iman umat Islam sebenarnya bukan sesuatu yang baru, bahkan umat Islam pernah menjadi pelopor (avant-garde) dalam komitmennya mengembangkan lembaga pendidikan melalui semangat amal. Yang menjadi persoalan sekarang adalah, bagaimana upaya rekonstruksi semangat beramal ini dalam mengembangkan pendidikan Islam? 

Pertama, adanya lembaga semacam Board of Trustees atau semacam Majlis Wali Amanah yang anggotanya dari wakil masyarakat yang memiliki integritas dan komitmen yang tinggi terhadap pendidikan Islam. Kedua, perlu dibangkitkan kembali semangat juang (jihad), etos kerja semua komponen stake holder internal sebagai wujud amal (perbuatan) nyata. Ketiga, perlu diterapkan manajemen mutu terpadu (total quality management) dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.[12]

3. Model Manajemen Berbasis Masjid (Management Based Mosque)
Embrio pendidikan Islam adalah Masjid. Manajemen pendidikan Islam yang berbasis masjid adalah manajemen yang dijiwai oleh nilai dan semangat spiritual, semangat berjamaah, semangat ihlas lillahi ta’ala (ihlas karena Allah) dan semangat memberi yang hanya berharap pada ridlo Allah. Proses pembelajaran yang integratif dengan masjid memberikan nuansa religius yang kental dalam penanaman nilai-nilai religius maupun praktek langsung pengalaman beragama. Dimulai dari pembiasaan shalat sunah, shalat dzuhur berjamaah dan shalat ashar berjamaah bagi yang full day school.

Sampai saat ini pun, sebagian besar institusi pendidikan Islam itu mempunyai masjid atau mushalah yang menjadi pusat kegiatan spiritual pelajar maupun pengajar. Kata kuncinya menjadi bagaimana mengaplikasikan konsep manajemen masjid kepada institusi pendidikan Islam.

Mengapa belajar dari manajemen masjid, berikut tulisan spektakuler Muhbib Abdul Wahab, yang dimuat pada harian Republika Online (ROL) bahwa alasannya karena “Masjid adalah pusat dan sumber inspirasi dalam segala hal, karena di masjid semua Muslim hanya mengabdi dan memohon pertolongan kepada Allah SWT (QS Al-Fatihah [1]: 5). Ayat ini oleh para mufassir, antara lain, dimaknai ayat pembebasan manusia dari ketergantungan kepada makhluk menuju tauhid sejati. Shalat berjamaah di masjid tidak hanya melambangkan persatuan dan kebersamaan, tetapi juga persamaan (equality), egalitarianisme, dan anti-diskriminasi. Yang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, penguasa dan pengusaha dapat berdiri dalam shaf yang sama. Tidak ada masjid hanya dikhususkan para penguasa, pengusaha, atau pejabat. Masjid, seperti halnya kemerdekaan, adalah hak semua. Masjid mendidik kita untuk mandiri, mengembangkan semangat kebersamaan, nasionalisme, dan patriotisme sejati”.[13]

Lembaga pendidikan Islam hendaknya tidak tebang pilih dalam membuat kebijakan. Apabila pelajar terlambat masuk gerbang, pelajar langsung mendapatkan hukuman, sekalipun murid mempunyai alasan yang kuat atas keterlambatannya. Tetapi apabila guru yang terlambat, tidak mendapatkan hukuman. Itulah yang kebanyakan terjadi, karena tidak belajar dari antidiskriminasinya manajemen masjid.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Pola/model manajemen lembaga pendidikan Islam ialah model yang dapat dipelajari dan diterapkan agar lembaga pendidikan bisa berkembang dan tentunya dapat diperhitungkan oleh lembaga pendidikan non Islam.

Pola manajemen tersebut tidak terlepas dari peran seorang manajer tertinggi. Yang dalam hal ini ialah kepala institusi (kepala sekolah). Serta adanya soliditas antara semua penanggung jawab pendidikan (orangtua, guru, masyarakat/lingkungan dan pemerintah.

Pola atau model tersebut ialah:

1. Model Manajemen Bernuansa Entrepreneurship
Model ini merupakan model yang menuntut institusi untuk mempunyai mental berwirausaha. Memiliki ketahanan pangan (ketahanan keuangan) jangka panjang.

2. Model Manajemen Berbasis Masyarakat
Model ini ialah model dimana institusi mampu untuk menjalin hubungan baik dengan masyarakat, mampu berkordinas dan menerima aspirasi masyarakat. Masyarakat yang memang mampu untuk beramal, tentunya diberdayakan secara proporsional.

3. Model Manajemen Berbasis Masjid
Model manajemen berbasis masjid yakni manajemen institusi yang yang pergerakannya senantiasa bermuatan spiritual atau religius. Tenaga pengajarnya tidak diskriminatif. Pada tataran ilustratif, imam yang bacaannya suratnya salah atau lupa, sadar diri berhenti sejenak untuk mendengarkan petunjuk bacaan yang benar dari ma’mum. Artinya seorang pemimpin harus aspiratif. Apabila seorang Imam ‘buang angin’ saat memimpin shalat, hendaknya langsung mundur dan mengambil wudhu. Artinya pemimpin harus sadar diri, apabila salahnya fatal jangan terus mau jadi

Kritik dan Saran
Dengan ini kami membuka ruang diskusi yang lebih jauh lagi, demi terciptanya khazanah keilmuan yang lebih sempurna, khususnya pada pembahasan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Tiga, Cetakan 3, 2005.
Mudjib, Abdul dan Mudzakir, Jusuf, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Pranada Media, 2006.
Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006.
Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. Ciputat. Penerbit Ciputat press, 2005.
Http://Kamusbahasaindonesia.Org/Manajemen, diakses pada 8 Maret 2015.
Http://Khazanah.Republika.co.id/Berita/Dunia-Islam/Islam-Nusantara/12/12/14/Mf0zqx-Lembaga-Pendidikan-Islam-Harus-Jadi-Jawara, diakses pada tanggal 10 Maret 2015.
Jakarta:http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/08/22/mrwy9w-spirit-istiqlal, diakses pada 9 Maret 2015.
Muhbib Abdul Wahab, Manajemen Pangan Ala Nabi Yususf. as, diposting pada 3 Februari 2014, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/02/03/n0dtpt-manajemen-pangan-ala-nabi-yusuf-as, diakses pada 9 Maret 2015.

Muhbib Abdul Wahab, Spirit Istiqlal, diposting pada 22 Agustus 2013,
MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAMMODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAMMODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAMMODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAMMODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAMMODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
[1] Http://Khazanah.Republika.co.id/Berita/Dunia-Islam/Islam-Nusantara/12/12/14/Mf0zqx-Lembaga-Pendidikan-Islam-Harus-Jadi-Jawara, diakses pada tanggal 10 Maret 2015.
[2]Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Tiga, Cetakan 3, 2005, hal. 751.
[3] Http://Kamusbahasaindonesia.Org/Manajemen, diakses pada 8 Maret 2015.
[4]Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. Ciputat. Penerbit Ciputat press, 2005, hal. 122
[5]Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Pranada Media, 2006, hal. 27.
[6]Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, hal. 126
[7]Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), hal. 49.
[8]Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, hal. 51
[9]Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, hal. 127
[10]Muhbib Abdul Wahab, Manajemen Pangan Ala Nabi Yususf. as, diposting pada 3 Februari2014,http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/02/03/n0dtpt-manajemen-pangan-ala-nabi-yusuf-as, diakses pada 9 Maret 2015.
[11]Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, hal. 57
[12]Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. , hal. 59
[13]Muhbib Abdul Wahab, Spirit Istiqlal, diposting pada 22 Agustus 2013, Jakarta:http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/08/22/mrwy9w-spirit-istiqlal, diakses pada 9 Maret 2015.

Artikel Terkait