Kisah Sejarah “Wali songo” Lengkap

Sejarah “Wali Songo” berarti sembilan wali” Wali Songo "Sembilan Wali - Wali Songo terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada waktu yang persis sama. Tapi satu sama lain memiliki hubungan dekat, jika tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-siswa

Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel putra Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang juga berarti sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah putra Sunan Ampel. Sunan Kalijaga adalah teman dan murid Sunan Bonang. Sunan Muria putra Sunan Kalijaga. Sunan Kudus Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah teman Sunan lainnya, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang meninggal lebih awal.

Mereka tinggal di pesisir utara Jawa dari awal abad ke 15 sampai pertengahan abad ke-16, di tiga wilayah penting. Yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah intelektual yang menjadi pembaru masyarakat pada zamannya. Mereka mengenalkan bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, budidaya, perdagangan, budaya dan seni, masyarakat hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan terpenting saat ini. Dari Giri, peradaban Islam berkembang di seantero nusantara timur. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, tapi juga pimpinan pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah pencipta seni yang pengaruhnya masih terasa sampai sekarang. Sementara Sunan Muria adalah teman sejati rakyat jelata.





Era Walisongo adalah akhir dominasi Hindu-Budha dalam budaya kepulauan agar bisa digantikan oleh budaya Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Terutama di Jawa. Tentu saja, banyak tokoh lain juga berperan. Namun peran mereka yang sangat besar dalam membangun Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap budaya masyarakat dan dakwah secara lebih luas, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak digunakan daripada yang lain.


Masing-masing tokoh ini memiliki peran unik dalam penyebaran Islam. Berawal dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan dirinya sebagai "dokter" bagi Kerajaan Majapahit Hindu; Sunan Giri menyebut penjajah sebagai "paus Timur" kepada Sunan Kalijaga yang menciptakan karya seni dengan menggunakan nuansa yang bisa dipahami oleh masyarakat Jawa-yaitu nuansa Hindu dan Budha.

1. Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14. Meinsma's Babad Tanah Jawi menyebutnya Asmarakandi, setelah pengucapan lidah Jawa melawan As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Sheikh Magribi. Beberapa orang bahkan menyebutnya Grandfather Pillow. Dia berhubungan dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Pasai Ocean, dan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak-anak seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad.


Maulana Malik Ibrahim pernah menetap di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak 1379. Dia bahkan menikahi sang putri, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal sebagai Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup untuk melaksanakan misi misionaris di negara tersebut, pada tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim pindah ke Pulau Jawa untuk meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya didampingi beberapa orang. Daerah yang ditargetkan pertama adalah desa Sembalo, sebuah wilayah yang masih berada dalam wilayah Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah kabupaten Leran kabupaten Manyar, 9 kilometer sebelah utara kota Gresik.

Kegiatan pertama yang dia lakukan saat itu adalah berdagang dengan membuka warung. Toko yang menyediakan kebutuhan dasar dengan harga murah. Selain itu, khusus Malik Ibrahim juga memberikan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai dokter, kabarnya, dia telah diajak untuk merawat seorang istri raja dari Campa. Kemungkinan sang permaisuri masih menjadi istri istrinya.

Bantal Kakek juga mengajarkan cara baru menanam tanaman. Dia menganut masyarakat kelas bawah yang disisihkan dalam agama Hindu. Begitu sempurna misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati orang sekitar saat dilanda krisis ekonomi dan perang sipil. Menyelesaikan pembangunan dan mengatur pondok belajar agama di Leran, pada tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim meninggal dunia. Makamnya sekarang berada di desa Gapura, Gresik, Jawa Timur

2. Sunan Ampel
Dia adalah putra sulung Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya dia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada tahun 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, teridentifikasi dengan nama tempat tinggalnya. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, daerah yang sekarang menjadi bagian dari kota Surabaya (Wonokromo sekarang)

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel memasuki pulau Jawa pada 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, adik laki-laki. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka berhenti dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, lalu ia berlabuh ke daerah Gresik. Terus ke Majapahit untuk menemui bibi, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah satu raja dari raja Majapahit yang bernama Raja Raja Kertawijaya.

Sunan Ampel menikahi putri seorang duke di Tuban. Dari pernikahannya dia diberkati dengan beberapa putra dan putri. Diantaranya adalah penerus Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer selatan Kudus) akan dibangun, Sunan Ampel membantu mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa. Ia juga menunjuk muridnya Raden Patah, anak Raja Brawijaya V dari Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak pada 1475 M

Di Ampel Denta yang berawa, daerah yang dianugerahi oleh Raja Majapahit, ia membangun sebuah pondok pesantren. Awalnya dia memeluk masyarakat sekitar. Pada pertengahan abad ke-15, pesantren menjadi pusat pendidikan yang sangat berpengaruh di nusantara bahkan luar negeri. Di antara santri tersebut adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri kemudian dibagikan untuk berkhotbah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Sunan Ampel menganut yurisprudensi Hanafi. Namun, di kalangan santri, dia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman iman dan penyembahan. Dialah yang memperkenalkan istilah "Mo Limo" (moh utama, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Ini adalah panggilan untuk "tidak berjudi, tidak minum, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotika, dan tidak melakukan perzinahan."

Sunan Ampel diperkirakan telah meninggal pada 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

3. Sunan Giri
Dia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (sekarang Banyuwangi) pada 1442 M. Ada yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang keluarga ibunya-seorang putri Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dijemput oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

Ayahnya adalah Maulana Isaac. saudara Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil mengonversi istrinya, namun gagal mengonversikan mertuanya. Karena itulah dia meninggalkan keluarga istrinya yang berkeliaran ke Samudera Pasai.

Sedikit Sunan Giri belajar di pesantrennya yang menyedihkan, Sunan Ampel, tempat Raden Patah juga belajar. Dia telah berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah cukup memiliki pengetahuan, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Gresik Selatan. Dalam bahasa Jawa, bukit itu "giri". Jadi dia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tidak hanya dijadikan tempat pendidikan dalam arti sempit, tapi juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena takut Sunan Giri memicu pemberontakan-memberinya fleksibilitas untuk memerintah pemerintah. Maka pesantren itu berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Raja Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa. Ketika Raden Patah memisahkan diri dari Majapahit, Sunan Giri bertindak sebagai penasihat dan komandan militer Kesultanan Demak. Hal ini tercatat di Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia juga dikenal sebagai mufti, pemimpin tertinggi agama, Tanah Jawa.

Giri Kedaton bertahan sampai 200 tahun. Salah satu penggantinya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih melawan kolusi VOC dan Amangkurat II pada abad ke-18.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, sampai Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan kedua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri dari Minangkabau.

Dalam agama, dia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam yurisprudensi. Orang juga memanggilnya Sultan Abdul Fakih. Dia juga Pencipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak-anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut kreasi Sunan Giri. Begitu pula Gending Asmaradana dan Pucung-lagi bernuansa Jawa tapi kondisinya dengan ajaran-ajaran Islam.

4. Sunan Bonang
Dia adalah putra Sunan Ampel, yang juga berarti cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama depannya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang wanita bernama Nyi Ageng Manila, putri seorang duke di Tuban

Sunan Kudus banyak belajar di Sunan Kalijaga. Kemudian ia melakukan perjalanan ke berbagai wilayah tandus Jawa Tengah seperti Sragen, Simo ke Gunung Kidul. Cara pemberitaan juga meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran terhadap budaya

lokal. Cara pengirimannya bahkan lebih halus. Itulah sebabnya para wali-yang sulit sekali menemukan para pengkhotbah ke Kudus, yang mayoritas umatnya adalah penganutnya - tunjuklah itu.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol Hindu dan Budha. Hal ini terlihat dari arsitektur Masjidil Haram. Bentuk menara, pintu gerbang dan pancuran / wudhu yang melambangkan delapan cara Buddhisme. Sebuah bentuk kompromi oleh Sunan Kudus.

Suatu saat, dia memikat publik untuk pergi ke masjid mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapunya bernama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang Hindu yang memuliakan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi". Sampai saat ini, beberapa komunitas adat Kudus masih menolak untuk membantai sapi.

Sunan Kudus juga menyusun cerita ketauhidan. Ceritanya diatur dalam rangkaian, sehingga orang tertarik untuk mengikutinya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita malam 1001 dari masa Kekhalifahan Abbasiyah. Begitulah cara Sunan Kudus mengikat rakyat.

Bukan hanya khotbah seperti yang dilakukan Sunan Kudus. Seperti ayahnya, ia pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia bertarung sebagai Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

5. Sunan Kalijaga
Dia adalah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban - keturunan pemimpin pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Saat itu, Arya Wilatikta telah memeluk Islam

Nama depan Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki beberapa julukan seperti Lokajaya, Syeikh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat berbagai versi asal nama dari Kalijaga yang dia tempuh.

Orang Cirebon mengira namanya berasal dari desa Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang tinggal di Cirebon dan berteman dekat dengan Sunan Gunung Jati. Orang Jawa mengasosiasikannya dengan bantuan wali ini untuk mandi ('kungkum') di sungai (waktu) atau "waktu menonton". Tapi ada yang bilang istilahnya berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang mengacu pada statusnya sebagai "pangeran kesucian" kekaisaran.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia menderita akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan Kerajaan Pajang yang lahir pada tahun 1546 dan awal melihat Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia juga membantu membangun Masjid Agung Masjid Agung Cirebon dan Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu pilar utama masjid adalah penciptaan Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, dia memiliki pola yang sama dengan mentornya sekaligus teman dekatnya, Sunan Bonang. Keyakinan religiusnya adalah "salaf berbasis sufistik" - bukan sufi panteistik (ibadah saja). Ia juga memilih seni dan budaya sebagai sarana untuk berkhotbah.

Dia sangat toleran terhadap budaya lokal. Ia yakin publik akan mundur jika menyerang pendiriannya. Kemudian mereka harus didekati secara bertahap: sambil tetap terjaga. Sunan Kalijaga percaya bahwa jika Islam dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga tampak sinkretistik dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni patung, wayang, gamelan, serta seni suara sebagai sarana propaganda dakwah. Dia adalah pencipta Baju Takwa, korban sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, wayang wayang Petruk Jadi Raja. Pemandangan pusat kota dengan Istana, alun-alun dengan dua beringin dan masjid sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah ini sangat efektif. Sebagian besar duke di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Dierah adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, dan Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -Parkatan Demak.

6. Sunan Gunung Jati
Banyak cerita tak masuk akal terkait dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra 'Mi'raj, kemudian bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima kehendak Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Manuskrip Klayan hal.xxii).

Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat di Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Ayahnya adalah Sultan Sharif Abdullah Maulana Huda, orang Mesir terbesar dari Bani Hashim dari Palestina.

Syarif Hidayatullah belajar agama sejak usia 14 tahun dari ulama Mesir. Ia telah melakukan perjalanan ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu ulama lainnya, ia mendirikan Kesultanan Cirebon, yang juga dikenal dengan Kesultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "guardian songo" yang memimpin pemerintah. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Dalam dakwah, ia menganut tren Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati masyarakat dengan membangun infrastruktur berupa jalan yang menghubungkan antardaerah.

Bersama anaknya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan penguasaan sukarela wilayah Banten yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Pada usia 89, Sunan Gunung Jati mengundurkan diri dari jabatannya untuk hanya mengejar dakwah. Kekuasaan diserahkan kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 Masehi, Sunan Gunung Jati meninggal dunia pada usia 120 tahun, di Cirebon (dahulu Karbon). Ia dikuburkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari barat.

7. Sunan Drajat
Nama depannya adalah Raden Qosim. Dia adalah putra Sunan Ampel. Jadi dia adalah saudara kandung dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat Raden Syaifuddin yang lahir pada 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama dari terang untuk berkhotbah ke pantai Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog-pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setiap sekarang dan kemudian Sunan Drajat bergerak 1 kilometer ke selatan dan membentuk padepokan santri Dalem Duwur, sekarang bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran Tauhid dan aqidah, Sunan Drajat mengambil gaya hidup: langsung dan tidak melihat banyak budaya lokal. Meski begitu, cara penyampaiannya mengadaptasi cara seni oleh Sunan Muria. Semua seni kerahasiaan Jadi dia menyusun ruang mistisisme, inilah tip sarannya "berikan orang buta kepada orang buta / beri makan orang lapar / beri pakaian kepada yang telanjang '.

Sunan Drajat juga dikenal sebagai orang yang sangat membantu dan bersahaja. Di pesantrennya, dia menjaga banyak anak yatim dan anak-anak yang membutuhkan.

8. Sunan Kudus
Nama kecilnya adalah Jaffar Sadiq. Dia adalah putra Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), putra Nyi Ageng Maloka. Disebutkan Sunan Ngudung adalah salah satu putra Sultan di Mesir yang melakukan perjalanan ke Jawa. Di dalam Kesultanan Demak, dia ditunjuk sebagai Panglima Perang.

Sunan Kudus banyak belajar di Sunan Kalijaga. Kemudian ia melakukan perjalanan ke berbagai wilayah tandus Jawa Tengah seperti Sragen, Simo ke Gunung Kidul. Cara dakwah juga meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran terhadap budaya asli. Cara pengirimannya bahkan lebih halus. Ia menyukai para wali - yang sulit menemukan duhwah kepada masyarakat Kudus yang kaya yang tertaati.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol Hindu dan Budha. Hal ini terlihat dari arsitektur Masjidil Haram. Bentuk menara, gerbang dan dataran / wudhu wudhu mewakili delapan jalur Buddhisme. Sebuah bentuk kompromi oleh Sunan Kudus.

Suatu saat, dia memikat publik untuk pergi ke masjid mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapunya bernama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang Hindu yang mengagumi sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi". Sampai saat ini, beberapa komunitas adat Kudus masih menolak untuk membantai sapi.

Sunan Kudus juga menyusun cerita ketauhidan. Ceritanya disusun dalam rangkaian, sehingga orang tertarik untuk mengikutinya. Sebuah pendekatan menarik untuk cerita 1001 malam kekhalifahan Abbasiyah. Begitulah cara Sunan Kudus mengikat rakyat.

Bukan hanya khotbah seperti yang dilakukan Sunan Kudus. Dia juga Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia bertarung sebagai Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

9. Sunan Muria
Dia adalah anak dari Dewi Saroh - adik perempuan Sunan Giri dan putra Syekh Maulana Ishak, bersama Sunan Kalijaga. Nama depannya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer sebelah utara Kota Suci

Gaya dakwahnya banyak jalan, Sunan Kalijaga. Tapi tidak seperti ayahnya, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah yang sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk penyebaran agama Islam.

Berkaitan dengan orang awam, saat bertani bersama, perdagangan dan memancing menjadi favoritnya.

Sunan Muria malah menjabat sebagai mediator dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai orang yang mampu menyelesaikan berbagai masalah tahun ini. Solusi penuh selalu bisa diterima oleh semua pihak yang bermusuhan. Sunan Muria berkhotbah dari Jepara, Tayu, Juana sampai sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya melalui seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

Artikel Terkait